Forum PialaEropa
- Chatting... n3o
- Debat & nonton langs... Miss Marple
- Dimana bisa dibeli Trix &... redeagle
Berita Lain
- 29/06/2008 15:54 WIB
Toilet Bernyanyi di Wina - 29/06/2008 14:59 WIB
Euro 2008 Sukses di Mata Beckenbauer - 29/06/2008 14:52 WIB
Duel Dua Generasi - 29/06/2008 13:46 WIB
Beckenbauer: Kuncinya Ada di Ballack - 29/06/2008 13:28 WIB
Juara, Penantian Spanyol Berakhir - 29/06/2008 12:54 WIB
Jangan Anti-Klimaks, Spanyol - 29/06/2008 11:49 WIB
Aragones (Akhirnya) Disanjung
Indeks Berita
Minggu, 29/06/2008 14:52 WIB
Muhammad Safrinal Lubis - detikSport
AFP/Javier Soriano Jakarta - Laga final Jerman versus Spanyol, Senin (30/6/2008) dinihari WIB, akan mempertemukan dua taktikus berbeda usia. Si tua Luis Aragones akan meladeni si "anak kemarin sore" Joachim Loew.
Aragones (69) adalah pelatih yang kenyang pengalaman. Sebelum menangani Spanyol pada pertengahan 2004, ia sudah malang melintang di sejumlah klub domestik sejak 1974.
Namanya melambung ketika dipercaya memegang Atletico Madrid. Selama empat periode (1974-1980, 1982-1987, 1991-1993, 2002-2003), mantan striker timnas itu mempersembahkan satu gelar La Liga dan tiga Copa del Rey.
Loew, yang 21 tahun lebih muda, baru memulai karir profesional ketika menukangi VfB Stuttgart pada 1996. Di klub asal Jerman itu, ia hanya sanggup memberikan sebiji titel DFB-Pokal. Sosoknya baru dikenal luas ketika dipilih Federasi Sepakbola Jerman untuk menggantikan Juergen Klinsmann sebagai pelatih timnas pasca-Piala Dunia 2006.
Keduanya, tentu saja, juga mempunyai kepribadian dan gaya kepemimpinan yang berbeda.
Aragones -- yang gemar menebar ucapan bernada kontroversial dan mudah naik darah -- mengasuh Iker Casillas dkk laiknya orangtua berpandangan konservatif: tegas dan disiplin. Tak ada yang berani berlagak macam-macam di hadapannya.
Jika ia merasa tak cocok, pemain sehebat apa pun harus rela mengucapkan selamat tinggal kepada kostum Matador. Jutaan kritik boleh mengalir deras, tapi ia tak pernah ambil pusing alias jalan terus.
Hasil luarbiasa ia tuai di turnamen ini. Berbekal pengalaman serta permainan taktis dan atraktif, Spanyol berhasil menembus laga puncak tanpa sekalipun menelan kekalahan. Di sini, ia juga mementahkan mitos "perempatfinal", babak terjauh yang bisa dicapai Matador sejak 1984.
Karakter yang kontras ditunjukkan Loew. Pelatih yang satu ini memilih lebih banyak menghemat mulutnya. Komentar-komentar yang ia keluarkan juga dingin-dingin saja. Terhadap para pemain, ia terkenal cenderung toleran.
Namun, Loew adalah peramu taktik yang istimewa. Bersama pelatih Kroasia Slaven Bilic, ia disebut-sebut sejumlah pangamat sebagai maestro strategi. Hal itu memang tak perlu diragukan sedikitpun.
Simak saja perjalanan Jerman di Piala Dunia dua tahun silam. Penampilan Der Panzer membuat semua orang terkejut. Gaya kaku, lambat dan membosankan hilang ditelan permainan menyerang nan memesona.
Kala itu, Loew memang hanya didudukkan sebagai asisten Klinsmann. Namun, dialah yang meletakkan sekaligus mengurusi taktik yang revolusioner itu. Klinsmann sendiri mengakui hanya mengandalkan kharisma, motivasi dan pengaruhnya.
Yah, permainan memukau dua tahun lalu memang belum mampu ditampilkan kembali secara konsisten di Piala Eropa kali ini. Satu-satunya yang pantas disebut penampilan kelas satu cuma terlihat ketika Jerman menyudahi Portugal 3-2 di perempatfinal.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, sepakbola tetaplah olahraga yang tak mungkin diramalkan dengan persis hasil akhirnya. Kemungkinan apa pun bisa terjadi di laga final nanti. Namun, yang menarik adalah menyimak apa yang bakal dilakukan kedua juru racik taktik tersebut dalam menghadapi berbagai situasi. ( din / din )
Jelang Final Piala Eropa
Duel Dua GenerasiMuhammad Safrinal Lubis - detikSport
AFP/Javier Soriano
Aragones (69) adalah pelatih yang kenyang pengalaman. Sebelum menangani Spanyol pada pertengahan 2004, ia sudah malang melintang di sejumlah klub domestik sejak 1974.
Namanya melambung ketika dipercaya memegang Atletico Madrid. Selama empat periode (1974-1980, 1982-1987, 1991-1993, 2002-2003), mantan striker timnas itu mempersembahkan satu gelar La Liga dan tiga Copa del Rey.
Loew, yang 21 tahun lebih muda, baru memulai karir profesional ketika menukangi VfB Stuttgart pada 1996. Di klub asal Jerman itu, ia hanya sanggup memberikan sebiji titel DFB-Pokal. Sosoknya baru dikenal luas ketika dipilih Federasi Sepakbola Jerman untuk menggantikan Juergen Klinsmann sebagai pelatih timnas pasca-Piala Dunia 2006.
Keduanya, tentu saja, juga mempunyai kepribadian dan gaya kepemimpinan yang berbeda.
Aragones -- yang gemar menebar ucapan bernada kontroversial dan mudah naik darah -- mengasuh Iker Casillas dkk laiknya orangtua berpandangan konservatif: tegas dan disiplin. Tak ada yang berani berlagak macam-macam di hadapannya.
Jika ia merasa tak cocok, pemain sehebat apa pun harus rela mengucapkan selamat tinggal kepada kostum Matador. Jutaan kritik boleh mengalir deras, tapi ia tak pernah ambil pusing alias jalan terus.
Hasil luarbiasa ia tuai di turnamen ini. Berbekal pengalaman serta permainan taktis dan atraktif, Spanyol berhasil menembus laga puncak tanpa sekalipun menelan kekalahan. Di sini, ia juga mementahkan mitos "perempatfinal", babak terjauh yang bisa dicapai Matador sejak 1984.
Karakter yang kontras ditunjukkan Loew. Pelatih yang satu ini memilih lebih banyak menghemat mulutnya. Komentar-komentar yang ia keluarkan juga dingin-dingin saja. Terhadap para pemain, ia terkenal cenderung toleran.
Namun, Loew adalah peramu taktik yang istimewa. Bersama pelatih Kroasia Slaven Bilic, ia disebut-sebut sejumlah pangamat sebagai maestro strategi. Hal itu memang tak perlu diragukan sedikitpun.
Simak saja perjalanan Jerman di Piala Dunia dua tahun silam. Penampilan Der Panzer membuat semua orang terkejut. Gaya kaku, lambat dan membosankan hilang ditelan permainan menyerang nan memesona.
Kala itu, Loew memang hanya didudukkan sebagai asisten Klinsmann. Namun, dialah yang meletakkan sekaligus mengurusi taktik yang revolusioner itu. Klinsmann sendiri mengakui hanya mengandalkan kharisma, motivasi dan pengaruhnya.
Yah, permainan memukau dua tahun lalu memang belum mampu ditampilkan kembali secara konsisten di Piala Eropa kali ini. Satu-satunya yang pantas disebut penampilan kelas satu cuma terlihat ketika Jerman menyudahi Portugal 3-2 di perempatfinal.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, sepakbola tetaplah olahraga yang tak mungkin diramalkan dengan persis hasil akhirnya. Kemungkinan apa pun bisa terjadi di laga final nanti. Namun, yang menarik adalah menyimak apa yang bakal dilakukan kedua juru racik taktik tersebut dalam menghadapi berbagai situasi. ( din / din )